*Bahagia, satu-satunya pilihan*
Ada seorang ilmuwan sains. Pengetahuannya tentang sains begitu banyak. Di perusahaan tempatnya bekerja, dia amat sering diminta memberikan pengarahan dan pengajaran sains. Ia dekat dengan pemilik perusahaan, yang kebetulan juga senang dengan sains, yang menyebabkannya semakin sibuk karena sang pemilik terus memberi proyek, bahkan sering mengundang meski sesekali hanya untuk berdiskusi bersama. Namun si ilmuwan memiliki satu kelemahan; ia terkenal angker (menyeramkan), sehingga tak banyak orang yang ingin bergaul dengannya. Namun kekurangan itu tertutupi dengan banyaknya kelebihan lain yang dimilikinya; ilmunya, pengalamannya, dll. Suatu saat sang pemilik perusahaan meninggal, dan perusahaan ini pun tutup pula, sehingga sang ilmuwan kehilangan tempat bergantungnya selama ini; sang pemilik perusahaan. Dulu ia senantiasa tersibukkan karena senantiasa dipekerjakan oleh sang pemilik perusahaan. Sepeninggal sang pemilik perusahaan, diri aslinya barulah tampak; keangkerannya membuatnya sulit mencari teman, sulitnya ia mendapatkan teman membuat ia sulit mendapatkan proyek, sehingga sepinya proyek menjadikannya pengangguran terselubung! Beberapa waktu yang lalu ia biasa lalu-lalang keluar kota, memberikan ceramah, berdiskusi di gedung elit perusahaan, kini ia terdiam sepi, menganggur di rumahnya, bersama istrinya yang juga telah berumur, dengan kondisi keuangan yang perlahan semakin merosot!
Ketidakmampuannya bergaul dan ketidakmampuannya memperoleh proyek, ia kompensasikan ke dalam kegalauan demi kegalauan. Ia merasa masa keemasan hidupnya telah berlalu, sebenarnya ia berada dalam situasi tak sedap tapi ia bingung bagaimana keluar dari situ! Kesedihan yang berlarut itu pun mengantarnya pada situasi depresi, sehingga ia terpaksa menemui psikiater dan ia dianjurkan untuk minum obat. 3 bulan lamanya ia minum obat, dalam keadaan depresi, ia mulai lelah. Ia bertanya pada psikiaternya; aku lelah dengan ini semua, bagaimana aku mengakhiri semua ini? Sang psikiater berkata: "Hanya bila engkau meridhai segalanya, kesedihanmu bisa berakhir." Ridha... pikir si ilmuwan. Terus terang ia tak bisa menemukan bagaimana caranya utk meridhai segala kehilangan yang telah dialaminya. Namun, ia sudah sangat lelah berada dalam situasi depresi! Akhirnya, dia pikir, "aku tak tau bagaimana caranya ridha, yang jelas aku tak boleh selamanya seperti ini, biarlah aku menyibukkan diri sendiri setidaknya agar hilang galauku walau sesaat!" Akhirnya, perlahan ia menurunkan keangkerannya; wataknya yang pemarah, perlahan ia lembutkan, sifatnya yang keras, ia lunakkan, sikap perfeksionisnya ia tundukkan sehingga ia mampu memaafkan, bertoleransi, dsb.
Di saat dia mulai memperbaiki akhlaknya, ternyata perlahan teman-temannya mulai membanyak. Ia pun segera dimintai nasehat-nasehat oleh teman-temannya, tentang apapun; ilmu sains, pengalaman hidupnya, tentang manajemen perusahaan. Lambat-laun, ia menjadi sangat sibuk, dan tanpa disadari ternyata teman-temannya yang dulu sering bekerja bersamanya mulai kembali bersama dan mereka pun akhirnya secara kecil-kecilan memulai perusahaan mereka sendiri! Tak disadari, 2 bulan telah berlalu dengan penuh kesibukan, hingga ia telah lupa bahwa dirinya mengalami gangguan depresi, sehingga dirinya baru sadar bahwa dia sudah tak minum obat selama hampir 1 bulan yang lalu! Obatnya ia tinggalkan karena ia lupa, terlalu sibuk bekerja. Dia pun menjumpai sang psikiater, menceritakan keadaannya, maka sang psikiater pun berkata: "Engkau telah sembuh, tidak perlu kau minum lagi obat itu. Engkau sekarang sibuk, sekarang kerjamu banyak, temanmu banyak, pendeknya sekarang engkau bahagia. *Memang, jika engkau ingin sembuh, bahagia adalah satu-satunya jalan, dan kau telah menempuhnya."* Bukan main senang sang ilmuwan, tak hanya ia mendapat banyak teman, banyak proyek, banyak rezeki, bahkan kini ia telah sembuh! *Hidupnya berubah ketika ia mulai memperbaiki akhlaknya.*
5 tahun telah berlalu... kini ia berbaring di tempat tidur rumahnya, yang berada di samping kantor perusahaannya sendiri! Visi-misi perusahaannya sederhana saja; meneruskan impian dan cita-cita pemimpinnya dahulu. Sambil berbaring, ia merenung: "Dulu aku tak tau caranya meridhai." Bahkan sebenarnya sampai detik ini, ia pun tak tau bagaimana ia berhasil meridhai rintangan terberat dalam hidupnya. Hingga akhirnya dia berpikir: *"Jangan-jangan bukan aku ridha, tapi Tuhan telah memampukanku ridha. Karena Tuhan menurunkan kasih sayangNya padaku."* Mengapa? Pikirnya. Mengapa Tuhan Yang Maha Tinggi itu rela menurunkan kasihNya yang begitu mahal kepada dirinya yang hina-dina? Pikirnya. *"Mungkin hanya gara-gara hal kecil... aku berhenti marah, aku tak lagi keras kepala, aku kini toleran dan pemaaf... mungkin...."*
18:44
17-October 2020
YM-UDL
Comments
Post a Comment