*Penjara Psikologis*
Tanggungjawab dalam bahasa inggris disebut Responsibility, yang terambil dari 2 kata: Response (Respon), Ability (Kemampuan). Sederhananya, tanggungjawab adalah kemampuan mengendalikan respon. Tanggungjawab adalah kemampuan khusus milik manusia, yang tak dimiliki hewan ataupun makhluk hidup lainnya. Hewan, tumbuhan hanya "bereaksi", namun tidak bisa memilih bagaimana caranya merespon. Sebagai contoh: Apabila seekor kucing memukul kucing lainnya, hampir dipastikan kucing lain tersebut akan membalasnya. Hewan tidak bisa memilih reaksinya, karena hewan tak mampu bertanggungjawab, karena mereka tak punya akal. Ketidakmampuan bertanggungjawab ini lah yang menyebabkan hewan memiliki nasib yang sama sejak dulu hingga sekarang. Monyet, rusa, kucing, dari zaman Nabi Adam as hingga sekarang, ya nasibnya gitu-gitu aja, karena mereka tidak bisa mengendalikan keputusannya, sehingga mereka tak bisa mengubah nasibnya!
Masalahnya, seringkali manusia meniadakan kemampuan bertanggungjawabnya, dengan membebankan tanggungjawab pada selain dirinya. Misalnya: Wajar saya pemarah/pemalas, karena pasangan saya menyebalkan, anak² saya bandel, boss saya pemaksa, anakbuah saya nakal, dunia sedang dilanda covid-19, dst dst. Kita seringkali mematikan kemampuan bertanggungjawab kita dengan menjadikan kita korban keadaan (mentality victim), kita memenjarakan diri kita dalam penjara psikologis yang kita buat sendiri; kita membiarkan diri kita bereaksi secara buruk; marah, ingkar janji, malas, dengan menyalahkan orang dan keadaan sekitar. Bahkan lebih parahnya lagi, kita terus bersikap buruk namun mengharapkan keajaiban terjadi atas diri kita! Kita malas namun mengharapkan keajaiban tiba² kita kaya, kita pemarah namun mengharapkan keajaiban tiba² semua orang memahami kita.
Pemenjaraan psikologis inilah yang disebut *pengeluh.* Dan sudah pasti, pengeluh tidak akan menyelesaikan masalahnya, karena masalah diselesaikan dengan tindakan, bukan keluhan. Kesukaan kita mengeluh, mematikan karunia Tuhan kepada kita; kemampuan mengubah nasib. Akhirnya, seringkali kita melihat seseorang memiliki nasib yang sama, bahkan terkadang lebih buruk dari pendahulunya. Sebenarnya, dalam Alquran, Tuhan sendiri mengancam perilaku ini dengan menyebutkan orang sejenis ini bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat. Mengapa bagai binatang ternak? Binatang ternak; sapi, lembu, kambing agaknya memiliki kemampuan bereaksi paling lemah di kalangan hewan. Mobil melintas 200Km/jam di samping seekor sapi, sapi tetap saja tenang makan rumput, kesadarannya lemah, dan ia hidup tak bertanggungjawab. Manusia memiliki kuasa mengubah sifat, sikap, keputusan dan nasibnya, namun seringkali kita mematikan kemampuan tsb dengan mengeluh. Na'udzubillah.
YM Ustaz
09/02/2021, 21:36 WIB
Comments
Post a Comment