Skip to main content

3 Tahapan Beragama

*3 Tahapan Beragama*

Menarik bila melihat Imam al Ghazali (mohon maaf jika ada periway
Taran saya yang kurang tepat): Kira², beliau adalah seorang pakar Fiqih, yang menjadi ketua dewan sebuah masjid, dan menjadi sekaligus pengajar di sebuah universitas. Pada suatu waktu, beliau selama 2 tahun mengalami depresi klinis (clinical depression) karena tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan teologis (keimanan); beliau sulit tidur, sulit makan, dan seterusnya. Akhirnya, beliau sembuh setelah merasa mengalami fenomena ketuhanan lewat tasawuf yang dipelajarinya pada penghujung masa depresi beliau. Beliau telah menjadi seorang sufi, meninggalkan posisi ketua dewan masjid, menjadi seorang "santri" atau "anshor" kalau dalam istilah kita. Dan menariknya, di penghujung ketercerahan dan kesembuhannya, beliau kembali mengajar ke universitas, kembali berkarya!

Betapa banyak orang beragama Islam hari ini, yang memiliki kemiripan demikian. Pada tahapan pertama, ia mendalami Islam pada aspek fiqih-nya saja; ia sibuk bertahajjud, salat di masjid, puasa sunnah, berhaji dan berumrah, dan seterusnya, hingga satu titik merasakan kehausan akan suasana spiritual yang lebih mendalam; ia memasuki tahapan kedua; menjadi pengamal tasawuf. Tasawuf itu sendiri sebenarnya adalah pelaksanaan syariat dan menghayati hakikat dari syariat tersebut. Biasanya, ketika mendalami tasawuf, banyak orang mengisahkan mereka mendapati "pengalaman ketuhanan" atau boleh dibilang, "banjir spiritualisme" (spirituality flood) yang menghantarkannya pada gabungan rasa kebahagiaan, ketenangan, ketakziman khas pada Tuhan, pendalaman pemahaman keagamaan yang lebih; intinya syukur yang tak terlukiskan. Namun, dalam keasyikannya bertasawuf, ia teringat akan makhlukNya yang lain! Ia pun terdorong sedemikian rupa untuk "mengorbankan" keasyikan zikirnya, "mengganti" sebagian keasyikan munajatnya di atas sajadah, dengan upaya mengasihi sesama; orang ini masuk pada tahapan ketiga, yaitu menjadi sufi yang bermanfaat. Sebenarnya keutamaan mengasihi sesama itu pun jelas, dalam hadis diterangkan bahwa berjalan untuk sebuah keperluan orang lain lebih bagus dari i'tikaf sebulan lamanya di Nasjid Nabawi. Demikianlah tahapan ketiga, atau tahapan terakhir, yang dikatakan oleh Syekh Hisyam Kabbani kira² sebagai berikut: "Sufi sejati... fisiknya bersama manusia (dengan bekerja, menyantuni dan mengasihi sesama) tetapi hatinya bersama Tuhan."

Dalam realita lain, tak jarang 3 tahapan agama ini justru lebih terlihat sebagai 3 genre (aliran) agama. Genre pertama adalah genre-nya para peminat fiqih; dipenuhi dengan peribadatan dan pengkajian fiqihnya. Genre kedua adalah genre-nya para peminat tasawuf yang asyik berada di masjid saja; memenuhi hari² mereka dengan ibadah, kadang melalui kajian² hakikat tentang alam ketuhanan, yang tak jarang, kadang² meninggalkan pekerjaan dan keluarganya. Genre ketiga adalah genre-nya para aktivis kemanusiaan; penuh dengan aktivitas memberi makan, menolong orang, mengupayakan kemajuan umat, namun biasanya terasa kurang kental dalam spiritualisme-nya. Kira² Nabi saw yang mana? Jelas beliau adalah ketiga-tiganya. Namun yang amat tampak dominan dari beliau, memang adalah obsesi beliau mengasihi sesama. Beliau memiliki kecenderungan mistik, beliau sufi sejati, tapi beliau bukan orang yang tergila-gila pada mistik (mysticism). Dikisahkan bahwa sejak sebelum menjadi seorang Nabi dan Rasul pun, beliau sudah membenci aktivitas para _kahin_ (dukun/bomoh/peramal). Hari ini, tak jarang kita lihat peminat mistik, memang berangkat dari orang yang sejak dulu meminati ramalan, dan ilmu-ilmu gaib. Rasulullah saw bukan sosok yang demikian.

Akhirnya, menjadi seorang muslim, adalah menjadi seperti Rasulullah saw. Beliau teguh dalam fiqih-nya, menjauhkan yang hak dari yang batil, menghindari yang syubhat (grey area). Dalam kesufiannya beliau adalah seorang yang paling bertakwa; terhebat takzimnya pada Allah ta'ala, tak terimbangi ibadahnya. Namun dalam hal kemanusiaannya, sangat menonjol sejak sebelum kenabiannya, sejak masih berusia muda sebagaimana yang diungkapkan Khadijah saat berusaha menenangkan beliau tatkala menerima wahyu pertama: Nabi saw... seorang yang suka memberi makan pada orang lain, menyambung silaturrahim, jujur, banyak tersenyum, dan segala akhlak mulia lainnya! Pendeknya, kalau ingin menjadi sufi: Tirulah pangkal, nenek guru, dan asal semua sufi; Rasulullah saw! Beliau adalah sufi sejati yang paling tepat implementasi kesufiannya. Kalau ingin diringkas, menjadi sufi yang bermanfaat itu sederhana saja... Jalankan Islam secara kaffah! Dan dari jauh-jauh hari, YM. Abu telah mengumandangkan tentang hal ini

YM Ustadz
23/03/2022
23:24 Wib

Comments

Popular posts from this blog

KUMPULAN FATWA" YM ABU dan YM USTADZ

Silahkan Abang" dan Kakak" diprint KUMPULAN FATWA" YM ABU dan YM USTADZ sebagai alat cermin diri agar kita selalu ada dalam REL AKHLAKUL KARIMAH , πŸ˜ŠπŸ˜ŠπŸ˜ŠπŸ™πŸ™πŸ™ Download file pdf

Bisa Diajarin (Teachable)

*Repost Fatwa YM*  ----------------------------- *Ustadz.* ------------- *Bisa Diajarin (Teachable)* Steve Jobs, mantan CEO Apple, yang dipandang sebagai salah satu tokoh teknologi terbesar di zamannya pernah mengungkapkan ungkapan yang begitu indah: "Stay Hungry, Stay Foolish." Yang kalau secara harfiah (literal) berarti "Tetaplah lapar dan tetaplah bodoh." Adapun konteks pernyataan tersebut ialah: Jangan berhenti belajar. Maulah diajarin. Jadilah bisa diajarin. Become teachable.  Kalau saya ingin menambahkan ungkapan Steve Jobs: "Stay young. Stay Junior." Atau, "Tetaplah muda dan jadilah junior selamanya." Ketika kita masih muda, junior dan baru belajar; kita siap dimarahi, siap letih, siap bekerja keras, dan siap untuk belajar dari pengalaman. Itu sebabnya, jangan merasa senior, karena biasanya senior itu malas belajar dan nggak mau diajarin (unteachable)! Karena merasa dirinya serba tau dan serba cukup! Itu sebabnya biasanya orang gagal dalam...

*Berani Tampil Sama*

*Berani Tampil Sama* Berani tampil beda, adalah doktrin yang sangat mendunia di dunia 20 tahun belakangan ini (atau mungkin lebih). Di antara akibat dari cara berpikir ini adalah lahirnya orang-orang yang suka mencari sensasi; berpakaian, berbicara, berpikir dengan cara yang tidak lazim. Untuk apa? "Supaya beda", tidak jelas juga untuk apa sebenarnya. Perlu kah tampil beda? Bila kita hadapkan kepada Alquran, yang penting bukanlah menjadi berbeda, yang penting adalah *menjadi baik.* Di Medan, ada istilah populer "Jangan Cuman Jago Kandang", yakni jangan hebat hanya di kandang. Pernah YM. Abu mengomentari statement ini, beliau bertutur, kira² seperti ini: "Memangnya kalau jago kandang kenapa rupanya? *Kita tidak ingin jago, kita hanya ingin bermanfaat.* Tidak penting apakah kita jago kandang, jago tandang, ataupun tidak jago keduanya, yang penting adalah menjadi orang baik." Harus senantiasa dikumandangkan pertanyaan: "Apakah ini baik? Apaka...