Penghormatan Status
You see the world as you are. Kita mempersepsikan dunia sebagaimana kita mempersepsikan diri kita sendiri; bila kita pemarah, kita pun akan menyangka orang pemarah pada kita. Kita menuduh orang sebagaimana kita menuduh diri kita sendiri; bila kita licik, kita akan mudah menduga orang lain licik pula pada kita. Dan kita menghormati orang lain berdasarkan apa yang kita hormati dari diri kita sendiri; bila kita memandang kekayaan, gelar dan piala itu penting, kita pun akan mengukur nilai orang lain berdasarkan kekayaan, gelar dan piala mereka.
Itu sebabnya, bila ingin memperlakukan orang lain secara lebih baik, mulailah dengan memandang diri sendiri secara lebih benar. Bagaimana mungkin kita akan menghormati orang lain karena akhlak dan kebaikannya jika kita memandang gelar dan status itu penting? Sebaliknya; sudah pasti kita tidak mempedulikan status dan kekayaan orang lain, bila kita memandang karakter dan kebaikan hati itu yang utama. Maka, evaluasilah diri kita; adakah aku ingin memperkenalkan diri melalui pangkatku? Boss, jendral, professor, dan sebagainya? Ataukah aku lebih ingin memperkenalkan diriku sebagai si fulan saja?
Satu hal yang pasti: Tuhan tidak memandang status kita, Tuhan itu jujur. Di dalam kubur bukan piala atau sertifikat kita yang ditanyai, tetapi kebeningan hati dan perbuatan baik kita yang ditanyai? Itu sebabnya, memandang status secara berlebihan pastilah merugi di akhirat, dan juga di dunia. Manusia yang terlalu memandang status adalah manusia yang tidak jujur dan hidup di dalam ilusi yang diciptakan masyarakat. Ia menjadi pengemis status dan hamba kekayaan; ia rela mengemis dan bersujud pada mereka yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih tebal simpanan uangnya. Baginya kehidupan ini tak lebih dari transaksi demi eskalasi status.
Kelak jika ia memiliki anak atau pasangan pun, akan ia perlakukan layaknya piala saja. "Nanti kalau jumpa dengan si fulan teman papa dahulu, kamu nyanyi ya!" Betapa banyak orangtua menuntut begitu pada anaknya, tanpa menanyakan apakah anaknya mau bernyanyi atau tidak, seakan-akan anak-anaknya hanya piala; gelas yang terbuat dari emas, tak berjiwa, yang fungsinya adalah untuk dipertontonkan kepada saudara/i-nya yang dari dulu sudah ia benci dan sudah ingin dia kalahkan. Apa akar dari situasi ini? Melihat segala sesuatu dari status, bukan substansi.
Maka renungkanlah sekali lagi: "Apakah aku ingin dihormati karena status, gelar dan kekayaanku? Ataukah aku ingin dihormati karena aku adalah aku? Tanpa embel-embel dan status apapun yang melekat padaku?" Hendaknya, pandanglah diri sebagai seorang fulan, manusia biasa, sehingga kita optimal mempercantik akhlak, bukan memperpanjang gelar. Dan hanya dengan begitu lah; kita akan mampu menghargai orang lain (termasuk anak dan pasangan kita) sebagai sebuah jiwa, sebagai manusia, bukan sebagai status, gelar dan tebal-tipis rekening banknya. Wallahua'lam!
YM Ustaz
Kamis, 9 Mei 2024
22.09 WIB
Comments
Post a Comment